Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news |-Setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari Buku Nasional. Ini menegaskan kepada kita semua bahwa buku merupakan “ jendela ilmu “ bagi perubahan dan kemajuan sebuah bangsa.
Ingin maju, ingin menambah wawasan, ingin mengetahui apa yang tidak kita ketahui, buku adalah pintu jawaban yang akan akan menuntun itu semua.
Ketika Nabi Muhammad SAW, mendapatkan wahyu “ Iqra “ dari Tuhan melalui Malaikat Jibril. Pertama yang dilakukan diperintahkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah baca.
Kata Nabi “ Aku Tidak Bisa Membaca “ dengan kesabarannya Malaikat Jibril membimbingnya sehingga Nabi bisa membaca. Dibimbingnya hingga tiga kali sehingga Nabi akhirnya dapat membaca.
Itulah sejarah pertama Nabi membaca Al Quran “ surat Al Alaq “ dan itu menandai sebagai perubahan peradaban islam dari sistem jahiliyah “ kegelapan “ menuju alam pencerahan.
Mengapa membaca buku itu penting dan “ wajib “. Tentu dengan membaca akan membawa banyak manfaat. Menambah ilmu pengetahuan, melatih otak dan daya ingat, mengembangkan imajinasi dan daya ingat, meningkatkan keterampilan bahasa dan menulis, mengelola stres dan yang menarik membentuk pola pikir kritis.
Mereka yang tidak suka membaca buku atau kurang berminat membaca buku memiliki tingkat kemampuan berkomunikasi yang rendah, kurang percaya diri dalam pergaulan, kurang memiliki daya imajinasi berpikir dan paling berisiko terjadinya penurunan literasi.
Konsep literasi seringkali dimaknai pada pemaknaan “ diksi “ membaca, menulis, dan memahami.
Diharapkan dari konsep tersebut mereka yang memiliki literasi yang cukup “ membaca “ akan menghasilkan komunikasi yang baik dan kritis. Sehingga kemampuan untuk mengolah informasi dari berbagai sumber dapat diverifikasi atau ditelaah dengan baik tidak ditelan dengan mentah - mentah.
Di jaman yang serba instan seperti saat ini budaya membaca buku cenderung digantikan oleh berbagai informasi lainya. Orang lebih suka mencari informasi melalui media sosial bisa melalui tiktok, instagram, trends, fb, AI dan lain - lain.
Karlina Supelli seorang dosen UI “ Filsafat “ mengatakan bahwa membaca buku tidak bisa digantikan dengan tiktok atau sebatas nonton film.Karena menurutnya kerja otak hanya bisa dilatih tajam “ kritis “ kalau otak berdialog dengan buku ( membaca buku ).
Penulis sependapat dengan Karlina Supelli sebab tiktok hanya sebatas “ hiburan “ tidak mengulas secara mendetail informasi yang disajikan. Durasi yang pendek “ tiktok “ tidak mampu membangun pemikiran yang kritis dan mendalam. Namun hari ini “ tiktok “ seolah - olah merupakan pengganti dari membaca buku dalam pencarian sumber ilmu pengetahuan.
Dalam konteks literasi budaya membaca Indonesia menjadi negara yang sangat tertinggal. Laporan dari berbagai survei internasional seperti PISA ( Program for International Student Assessment serta IPLM ( Indek Pembangunan Literasi Masyarakat ) Indonesia cenderung di peringkat paling bawah.
Tingkat regional ASEAN misalkan Indonesia begitu jauh tertinggal dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, Vietnam, Filipina. Apalagi dibandingkan dengan negara - negara maju lainnya seperti Jepang atau Finlandia. Salah satu ciri negara yang rendah tingkat literasi sepertinya dapat terlihat dari kualitas sistem pendidikannya. Indonesia termasuk yang “ bobrok “ sistem pendidikannya.
Sebuah negara seperti Indonesia yang tingkat literasi nya rendah dapat dilihat juga dari kualitas kehidupan masyarakatnya. Mudah marah, mudah terprovokasi, mudah anarkis dan mudah percaya dengan berita “ hoax “ yang belum terbukti kebenarannya. Apalagi dalam bidang politik mudah “ fanatik “ mudah percaya sehingga mudah pula untuk dibohongi. (Red)