Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
(Oleh Ahmad Basri : Ketua K3PP Tubaba)
Tulang Bawang Barat |Prokontra.news|- Pada 25 Juni 2025, salah satu media sebut saja Melayu Post, memberitakan “ Cuplikan ” pembangunan tugu Kampung Pancasila di Tiyuh Margodadi, Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat - Tubaba. Akan tetapi penulis menggaris bawahi tidak bermaksud mengomentari aspek fisik proyek tersebut secara teknis sebagaimana dilaporkan media di atas.
Ada sisi lain yang setidaknya lebih menarik dengan berbagai macam pertanyaan yang mengusik. Penulis sekedar bertanya apakah pembangunan “ Monumen ” Benar - benar bentuk penguatan ideologis tentang nilai - nilai Pancasila atau sekadar pembangunan simbolik semata?
Buktinya di beberapa lokasi yang sudah berdiri “ monumen” Kampung Pancasila Kumuh cenderung kurang terawat.
Secara kasat mata pembangunan monumen kampung Pancasila adalah program milik institusi militer (TNI), bagian dari upaya merawat Nasionalisme dan Ketahanan Ideologis bangsa di tengah arus globalisasi dan tantangan Isme - isme Transnasional.
Sekali lagi kita patut bertanya lebih dalam lagi apakah pembangunan Kampung Pancasila Benar - benar menyentuh inti nilai-nilai Pancasila atau hanya berhenti sebagai Proyek Ornamen dan Ritualisasi Simbolik semata?
Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila adalah fondasi paling kokoh dari eksistensi Indonesia modern. Kita sudah menyaksikan bagaimana Pancasila berhasil menghadapi rongrongan ideologi lain, baik dari kanan ekstrim berbasis agama seperti DI/TII (Kartosuwiryo), maupun dari kiri ekstrem seperti PKI (1948 dan 1965)
Namun demikian dalam realitas hari ini Pancasila tidak lagi dihadapkan pada ancaman ideologi asing “ kanan - kiri “ yang bersenjata. Ancaman itu kini hadir dalam bentuk yang lebih samar yakni pengingkaran nilai-nilainya oleh bangsa sendiri.
Kita jarang melihat adanya tindakan upaya “ Subversif “ ingin mengganti Pancasila tetapi kita justru menyaksikan sendiri bagaimana nilai-nilainya dikerdilkan dalam praktik sosial, ekonomi, politik, dan birokrasi sehari-hari. Itu yang kita lihat sehari - hari dan itu nyata didepan mata bukan Utopis.
Oleh Karena itu masalah terbesar Pancasila hari ini sesungguhnya bukan terletak pada hilangnya simbol atau monumennya. Justru sebaliknya simbolisasi Pancasila sering berlebihan dan kadang kosong dari makna nilai.
Problem terbesar adalah menurunnya keteladanan dan praktik nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita benar-benar menjunjung tinggi sila Ketuhanan ketika korupsi merajalela bahkan dalam institusi keagamaan?
Dan yang paling tragis sila Keadilan Sosial tampak menjadi Utopia di tengah kesenjangan ekonomi yang kian lebar dan penumpukan kekayaan di tangan segelintir elit. Bagaimana jutaan hektar tanah bisa dipegang oleh segelintir orang. Lapangan pekerjaan sulit dan pengangguran terus tumbuh subur.
Pembangunan Kampung Pancasila yang tidak dibarengi dengan Transformasi nilai dan pembentukan karakter masyarakat akan menjadi proyek artifisial. Sekadar menancapkan monumen tanpa membina Praksis Ideologis adalah pengingkaran terhadap makna Pancasila itu sendiri.
Kita tidak ingin Kampung Pancasila menjadi mirip proyek “ Taman Ideologi ” yang hanya dipenuhi mural dan tugu tetapi kehilangan roh kehilangan jati diri. Sebagai masyarakat kita tentu mendukung segala bentuk penguatan ideologi kebangsaan. Namun dukungan itu harus diberikan dengan prasyarat bahwa upaya tersebut bersifat substantif bukan seremonial.
Sesungguhnya Pancasila tidak membutuhkan tugu “ Monumen “ untuk tetap hidup namun butuh keteladanan dan keberanian untuk menegakkan nilai-nilainya. Kita mesti jujur bertanya pada diri sendiri apakah kita sudah berpancasila dalam tindakan atau hanya dalam kata-kata?
Jangan - jangan kita masih menjadi manusia penghafal lima sila tanpa mengamalkannya. kita yang sesungguhnya mengkhianati Pancasila justru adalah mereka yang rajin menyebut namanya, tetapi enggan mewujudkan keadilan sosial di lingkungan sekitar.
Jangan - jangan kita menjadikan Pancasila sekadar hiasan pidato dan mural dinding sekolah. Sudah saatnya kita berpindah dari Ritualisasi Ideologi menuju Praksis Etis. Pancasila tidak cukup dihafalkan, didirikan tugunya, atau diperingati tanggal lahirnya. Pancasila harus dipraktikkan dalam kebijakan publik yang adil dalam pelayanan yang tidak korup.
Dengan berdirinya Kampung Pancasila di berbagai tiyuh di Tubaba, marilah kita renungkan apakah kita hanya menanam tugu atau juga sedang menanam nilai dalam hati warga? Apakah kita hanya membangun monumen atau sedang membangun kesadaran? (Red)