Breaking news

Selasa, 02 September 2025

Mulut Mingkem, Membisu, Buta dan Tuli

 

Penulis :

(Ahmad Basri)

Ketua :K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | -Demo anarkis selalu dilabeli sebagai tindakan kriminal. Aparat penegak hukum dengan gagah berani menyatakan akan menembak di tempat siapapun yang merusak fasilitas publik atau menjarah barang saat kerusuhan.


Umat beragama atau tokoh agama juga berkhotbah bahwa mengambil barang jarahan itu haram akan dibakar api neraka. Seolah tidak ada ruang kompromi. Masuk neraka. 


Ini melukiskan bahwa rakyat kecil yang marah dan meluapkan frustasi diposisikan sebagai pelaku dosa sosial dan dosa agama sekaligus.


Mari kita letakkan kalkulasi sederhana dengan jujur dan hati nurani. Penjarahan saat demo yang disebut anarkis mungkin hanya bernilai ratusan juta atau milyaran rupiah kerugian negara.


Bandingkan dengan para pejabat tengil begundal yang merampok uang rakyat lewat praktik korupsi, mark up anggaran, atau permainan proyek, nilainya bisa mencapai ratusan miliar hingga triliun rupiah.


Itu bukan sekadar kerugian negara tapi pencabutan hak hidup jutaan rakyat dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga masa depan. Hak rakyat dirampas dan dirampok oleh pejabat tengil.


Ironisnya tak ada satupun narasi tembak ditempat untuk para pejabat tengil, perampok, koruptor uang rakyat. Dan tak ada juga ancaman neraka yang digunakan lantang di mimbar - mimbar agama oleh para tokoh agama.


Para tokoh agama, cendekiawan, bahkan intelektual publik memilih mingkem, menutup mulut rapat - rapat, seakan tidak terjadi apa - apa. Inilah wajah standar ganda yang menyakitkan.


Rakyat miskin yang marah dianggap ancaman negara pengganggu stabilitas politik keamanan. Pejabat kaya yang korup justru diperlakukan sebagai kesalahan administratif atau sebatas hukuman ringan atau bebas demi hukum.


Diamnya mulut tokoh agama bukan sekadar sikap personal. Namun punya dampak besar yakni membangun legitimasi sosial bahwa korupsi bukan dosa yang setara dengan penjarahan rakyat. Korupsi dosa kecil mudah dihapus atau cukup minta maaf selesai.


Padahal kalau ditimbang dengan neraca moral siapa yang lebih jahat lebih kejam. Mereka yang merampas sekarung beras di tengah kerusuhan atau pejabat yang menggelapkan dana bansos miliaran rupiah di saat rakyat kelaparan.


Kaum agama mestinya berpihak pada keadilan bukan pada kekuasaan. Moral publik mestinya menjadi benteng melawan penindasan bukan jadi corong yang hanya memaki rakyat kecil.


Tetapi faktanya banyak mimbar agama, tokoh agama, panggung akademik, dan kaum intelektual hanya lantang kebawah, sementara ke atas jadi bisu. Mulutnya mingkem. Pada titik inilah rakyat berhak bertanya dimana suara moral mereka ketika uang rakyat ratusan miliar hingga triliun dijarah pejabat korup.


Mengapa para tokoh agama begitu cepat memvonis rakyat kecil dengan ancaman neraka tetapi enggan bersuara lantang terhadap penguasa yang nyata - nyata merampas hak hidup mereka. Selama mulut para tokoh agama dan moral publik tetap mingkem maka bangsa ini akan terus hidup dalam abnormal. 


Rakyat kecil ditakuti dengan senjata dan neraka sementara pejabat melenggang dengan senyum di ruang sidang atau bahkan kembali dipilih jadi pejabat publik. Sampai kapan kita menonton kebisuan ini terus menerus ? 

(Red)