Breaking news

Sabtu, 31 Mei 2025

Konsep Nenemo : Filosofi Budaya dan Pembangunan – Antara Khayalan atau Kenyataan?


Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba

Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Di tengah gelombang retorika pembangunan berkelanjutan yang kini digaungkan oleh Bupati terpilih Novriwan Jaya dan Wakil Bupati Nadirsyah, publik layak bertanya: pembangunan berkelanjutan yang seperti apa yang dimaksud? Apakah ini sekadar kelanjutan dari warisan pendahulunya, Umar Ahmad—atau ada pijakan baru yang lebih konkret dan menyentuh realitas rakyat?


Di Tubaba, konsep pembangunan sejak awal berdiri telah mengusung narasi budaya lokal melalui satu kata kunci yang nyaris sakral: Nenemo. Tiga nilai inti yang dikandungnya—Nemen (tekun), Nedemo (berani), dan Nerimo (ikhlas)—dijadikan pondasi filosofis pembangunan.


Dalam narasi resmi, Nenemo adalah ruh dan arah. Ia digadang -bgadang sebagai suluh pembangunan berbasis budaya dan spiritualitas lokal.


Namun, dalam kenyataan yang kita saksikan hari ini, Nenemo lebih sering menjelma menjadi mantra kosong, simbol kosmetik yang jauh dari implementasi substansial. Ia hadir sebagai jargon, bukan sebagai nilai hidup; sebagai hiasan pidato, bukan sebagai panduan kebijakan.


Bangunan - bangunan monumental seperti Uluan Nughik, Pasar Seni Tubaba, Pasar Semi Modern Pulung, hingga patung - patung ikonik dan kompleks Islamic Center yang megah memang tampak membanggakan. Semuanya dipersembahkan sebagai wujud kebangkitan budaya lokal.


Namun mari kita jujur. Apa makna estetika jika infrastruktur dasar masih compang - camping? Jalan desa rusak, akses air bersih minim, sekolah kekurangan fasilitas, dan pelayanan kesehatan tak menjangkau lapisan bawah masyarakat. Lebih miris lagi, masih banyak kantor OPD yang tak layak huni. Di sinilah terjadi ironi: megah dalam rupa, rapuh dalam makna.


Nilai budaya direduksi menjadi alat pencitraan. Partisipasi publik yang semestinya menjadi inti pembangunan justru dipinggirkan. Musrenbang hanya sekadar seremoni administratif. Rakyat hadir, namun tidak benar-benar didengar. Nenemo dikutip, tetapi tidak dihayati.


Nilai Nemen, yang seharusnya mengajarkan ketekunan kolektif, malah dibebankan secara sepihak kepada rakyat. Mereka diminta bekerja keras, taat, dan sabar, sementara akses untuk ikut menentukan arah pembangunan nyaris nihil.


Nedemo, yang mestinya mendorong keberanian menyuarakan kebenaran, berubah menjadi bumerang. Kritik dianggap ancaman, bukan koreksi. Ketika rakyat bicara lantang, mereka dibungkam atas nama "ketidak sejalanan dengan semangat pembangunan".


Sedangkan Nerimo, nilai luhur tentang keikhlasan, telah disalah artikan menjadi sikap tunduk. Rakyat diajari menerima ketimpangan sebagai takdir, bukan sebagai kondisi yang harus diubah. Spiritualitas diubah menjadi instrumen penjinakan.


Dalam konteks ini, Nenemo tidak lagi menjadi etika pembebas, melainkan topeng legitimasi kekuasaan. Ia menjelma menjadi wajah baru feodalisme: kekuasaan dibalut adat dan spiritualitas, namun relasi kuasa tetap timpang. Rakyat dipinggirkan, bahkan ditidurkan dalam euforia budaya.


Padahal jika dimaknai secara jernih dan tulus, Nenemo justru dapat menjadi pondasi untuk membangun tata kelola yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan.


Nemen bukan beban rakyat semata, melainkan semangat kolektif merancang kebijakan bersama.


Nedemo bukan untuk menakuti rakyat, melainkan keberanian bersama menyuarakan dan menerima kritik.


Nerimo bukan perintah untuk pasrah, melainkan keikhlasan pemimpin membuka ruang dialog.


Pembangunan berbasis budaya hanya akan bermakna jika bersandar pada kejujuran, transparansi, dan partisipasi. Jika tidak, yang tersisa hanyalah simbol kosong yang dijual untuk panggung politik.


Tubaba sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi model pembangunan yang memadukan tradisi dan transformasi. Tapi itu hanya akan terjadi jika penguasa bersedia menanggalkan ego simbolik dan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penonton.


Sebab, pembangunan tanpa partisipasi adalah propaganda. Budaya tanpa kritik adalah alat penindasan. Mari kita pulihkan Nenemo dari reduksi makna. Mari menjadikannya bukan mitos kekuasaan, melainkan jalan menuju keadilan sosial dan demokrasi lokal yang sebenar-benarnya. (Red)