Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Sering timbul pertanyaan mendasar dalam benak kita: mengapa negara-negara seperti Jepang, AS, Kanada, Singapura, Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swiss, Singapura, Swedia, Norwegia, Belanda, Luksemburg, dan Jerman memiliki tingkat korupsi yang paling rendah di dunia? Padahal, secara teologis, negara-negara tersebut tidak menjadikan agama sebagai fondasi kehidupan sosial dan kenegaraan.
Mereka menganut paham sekularisme yang cenderung “ ateis “ , di mana agama dianggap urusan pribadi, bukan sesuatu yang melekat dalam ranah publik atau kebijakan negara. Agama harus terpisah dalam urusan publik.
Ironisnya, negara-negara yang disebutkan tadi bukanlah negara dengan populasi mayoritas Muslim. Bahkan, praktik keagamaan secara formal di sana sangat minim terlihat hampir tidak nampak di permukaan. Namun justru di sanalah etika publik, disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab sosial tumbuh kuat.
Lantas bagaimana dengan Indonesia—sebuah negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yang kehidupan sosial dan kenegaraannya sangat kental dengan identitas religius. Ritual keagamaan hampir menjadi bagian kehidupan sosial Masyarakat yang tak terpisahkan.
Data menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah jemaah haji dan umrah terbanyak di dunia. Masjid , pondok pesantren menjamur di setiap pelosok, pengajian dan majelis dzikir ada hampir setiap malam, dan gema sholawat menggema di berbagai tempat. Tidak pernah sepi.
Namun mengapa semua itu tidak berbanding lurus dengan perilaku moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta pahitnya menunjukan indeks persepsi korupsi Indonesia masih tergolong tinggi.
Praktik korupsi merajalela di berbagai sektor—dari birokrasi pemerintahan hingga lembaga pendidikan dan keagamaan. Bahkan, korupsi telah menjadi budaya yang diwariskan dan dilestarikan, bukan untuk dilawan.
Lalu, apa makna semua ritual keagamaan “ pergi haji “ yang marak itu jika tidak menghadirkan transformasi moral dan spiritual dalam tindakan nyata. Mengapa berhaji, dzikir dan sholawat yang menggema tidak mampu menembus hati dan menggetarkan nurani dalam dimensi moral kehidupan sosial ketata negaraan.
Terlalu banyak orang yang menjadikan agama ‘ haji ” sebagai simbol dan identitas, bukan sebagai nilai hidup kehidupan. Dzikir hanya menjadi ritual, bukan refleksi batin. Sholawat hanya menjadi lantunan, bukan pemantik cinta sejati kepada Nabi Muhammad SAW.
Padahal, Rasulullah adalah sosok yang paling tegas menolak korupsi, suap, dan segala bentuk ketidakadilan. Keteladanan beliau adalah puncak dari integritas moral, keadilan sosial, dan kepedulian terhadap sesama.
Hari ini, di bulan ini jutaan umat islam termasuk dari indonesia berkumpul di mekkah madinah untuk menunaikan ibadah haji sebagai pondasi rukun islam .
Namun pertanyaannya apakah semua itu hanya menjadi seremonial, atau momentum untuk menghidupkan kembali ajaran islam “ Nabi Ibrahim “ dalam kehidupan sosial kita.
Berhaji seharusnya menjadi cermin bukan hanya panggung. Meneladani risalah kenabian bukan sekedar bersholawat, berdzikir akan tetapi membumikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bicara perilaku korupsi adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap ajaran risalah kenabian. Ia merampas hak orang banyak, menghancurkan keadilan, dan mempermalukan agama itu sendiri.
Andaikan Nabi Muhammad SAW masih hidup hari ini, barangkali beliau akan meneteskan air mata, menyaksikan umatnya yang begitu rajin berhaji, umroh, berdzikir namun tak jujur, dan yang fasih bersholawat berdzikir namun gemar berkhianat.
Maka berdzikirlah dengan hati, bukan sekadar bibir. Bersholawatlah dengan tindakan, bukan hanya dengan suara. Jangan sampai kita terperangkap dalam simbolisme religius yang hampa makna. (Red)