Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news |- Di tengah masyarakat yang masih bergelut dengan ketimpangan sosial dan ekonomi, pamer gaya hidup mewah justru menjelma menjadi semacam budaya baru. Media sosial menjadi panggung paling efektif untuk “ bergaya “ rumah mewah, mobil mewah, tas bermerek, hingga liburan eksklusif.
Dulu, praktik ini umumnya hanya dilakukan kalangan selebritas, sebagai bagian dari dunia hiburan yang memang menuntut tampil gemerlap. Namun kini, panggung itu dibanjiri oleh mereka yang mengaku atau menjabat sebagai pejabat publik. Ironisnya, mereka yang benar-benar kaya raya seperti para konglomerat dunia justru cenderung tampil sederhana.
Konglomerat dunia seperti, Bill Gates, Warren Buffett, hingga Elon Musk dikenal luas dengan gaya hidup yang jauh dari glamor. Mereka lebih sibuk membangun dan menciptakan nilai tambah, daripada sekadar memamerkan hasil. Kekayaan mereka bisa dilacak dari jejak bisnis yang panjang dan terang. Mereka tak perlu mengumbar harta, karena dunia sudah mencatatnya. Dunia sudah mengakuinya.
Berbeda halnya dengan sebagian pejabat publik di negeri ini. Media sosial kini penuh dengan pamer kekayaan yang mencolok dari kalangan yang seharusnya menjadi pelayan rakyat. Dari pusat hingga ke daerah, dari kementerian hingga lembaga daerah, sejumlah oknum tampak begitu gemar memperlihatkan kemewahan hidup. Padahal, gaji dan tunjangan mereka telah diatur dan dicatat dalam sistem administrasi negara.
Maka tak pelak, publik pun bertanya dari mana sumber kekayaan itu? Pamer kemewahan yang dilakukan oleh pejabat publik bukan sekadar persoalan etika sosial, melainkan juga menjadi semacam penghinaan terbuka terhadap hukum dan rakyat.
Kasus di Kementerian Keuangan beberapa tahun lalu lalu menjadi bukti nyata bagaimana gaya hidup mewah bisa membuka borok besar tentang praktik korupsi yang sistemik dan terstruktur. Ketika seorang pejabat pajak bisa memiliki ratusan miliar rupiah yang tak sesuai dengan profil penghasilannya dan dengan bangga memamerkannya di media sosial, itu bukan sekadar show off.
Itu adalah bentuk arogansi kekuasaan, dan sinyal bahwa korupsi sudah merasa tak perlu lagi disembunyikan. Lebih tragis, kemewahan yang dipamerkan itu justru berasal dari uang haram, dari hasil perampokan uang rakyat. Ini bukan sekadar tindakan tidak etis, melainkan simbol penghinaan yang sangat dalam terhadap institusi hukum.
Ironisnya, hari ini, masyarakat menyaksikan bagaimana para penegak hukum kerap menjadi bagian dari permainan yang mereka seharusnya bubarkan. Penegakan hukum terhadap korupsi seolah mengalami amputasi moral. Tidak sedikit yang percaya bahwa sebagian lembaga hukum telah menjadi bagian dari jaringan kekuasaan gelap yang melindungi para pelaku korupsi.
Pamer harta kekayaan oleh pejabat publik adalah tanda pengkhianatan paling telanjang terhadap integritas negara. Mereka bukan hanya sedang memamerkan kemewahan, tetapi juga mempermalukan bangsa di hadapan rakyat yang hidup dalam kesulitan. Mereka sedang menyampaikan pesan buruk bahwa keadilan sosial tinggal slogan kosong dan hukum hanya milik mereka yang punya uang.
Pamer gaya hidup mewah oleh pejabat publik bukanlah persoalan sepele. Itu adalah tindakan simbolik yang memuat pesan: “Kami tidak takut hukum.” Dan justru di situlah letak persoalan terbesar bangsa ini. Ketika hukum kehilangan taringnya, dan rasa malu tak lagi ada, maka bangsa ini berada dalam bahaya besar. Kehancuran moral dan hukum. (Red)