Breaking news

Kamis, 05 Juni 2025

Menjaga Marwah Pemilu : DKPP RI Harus Tegas Menyikapi Dugaan Money Politics di Tubaba

Penulis :

Ahmad Basri 

Ketua : K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Dalam demokrasi yang sehat pemilu bukan sekadar kontestasi lima tahunan. Ia adalah instrumen kedaulatan rakyat, sarana sirkulasi kekuasaan yang sah, dan ujian atas integritas institusi penyelenggara. Maka ketika kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu tercederai oleh dugaan pelanggaran etik apalagi yang menyentuh praktik money politics maka seluruh pilar demokrasi turut terguncang rusak.


Saya, sebagai warga negara sekaligus Ketua  K3PP Tubaba merasa berkewajiban untuk bersuara dan bertindak. Bukan demi kepentingan pribadi atau politik tertentu tetapi demi menjaga marwah pemilu sebagai lembaga kepercayaan publik. Dugaan keterlibatan tiga komisioner Bawaslu Tubaba dalam praktik politik uang “ Kasus Darmawan “ pada Pilkada 27 November 2024 bukan isu ringan. Ini menyentuh jantung etik demokrasi itu sendiri.


Sesuai Pasal 157 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, DKPP dibentuk sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu. Tugasnya bukan memeriksa hasil pemilu atau menghukum pidana pelanggar, melainkan memastikan bahwa KPU dan Bawaslu, sebagai penyelenggara, menjalankan tugasnya secara bermartabat, jujur, dan adil.


Pelaporan yang saya ajukan ke DKPP RI beberapa waktu lalu telah melalui proses administrasi / material yang sah, lengkap dengan bukti dan saksi yang relevan. Jalur etik melalui DKPP adalah langkah konstitusional terakhir untuk menuntut pertanggungjawaban moral dan etik dari para penyelenggara pemilu yang diduga menyalahgunakan mandat rakyat.


Apa yang disebut sebagai “money politics” dalam konteks Pilkada bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan penghinaan terhadap demokrasi. Ia mengubah pemilu dari arena adu gagasan menjadi transaksi kekuasaan. Ketika penyelenggara justru terlibat maka rusaklah pilar integritas itu dari dalam. Kepercayaan publik akan luruh dan pudar, partisipasi rakyat akan menurun, dan legitimasi pemimpin hasil pemilu menjadi cacat moral.


Di sinilah pentingnya DKPP bertindak tegas. Bukan hanya untuk memproses laporan ini secara objektif dan transparan, tapi juga mengirim pesan moral bahwa penyelenggara pemilu tidak kebal etik.  Masyarakat berhak menuntut standar tinggi terhadap penyelenggara sebab mereka adalah wasit demokrasi. Dan wasit yang berpihak adalah ancaman bagi seluruh permainan.


Saya siap memenuhi panggilan pada tanggal 13 Juni 2025 dari DKPP RI dan akan membawa seluruh barang bukti serta menghadirkan saksi-saksi untuk memperkuat dugaan pelanggaran etik tersebut. Namun saya pun sadar, wewenang ada di tangan majelis DKPP. Apakah laporan saya ini dinyatakan memenuhi syarat atau tidak, itu adalah keputusan hukum yang harus saya hormati.


Yang paling penting bagi saya bukanlah siapa yang menang atau kalah dalam kontestasi politik, melainkan siapa yang menjaga integritas prosesnya. Jika benar ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum Bawaslu Tubaba, maka DKPP harus berani bertindak. Jika tidak terbukti, maka DKPP juga harus memberikan penjelasan terang kepada publik.


Yang jelas, ketaatan pada prosedur hukum telah saya tempuh. Kini, kita semua menunggu apakah DKPP RI akan berdiri di sisi etika publik, atau justru membiarkan preseden buruk ini terus berulang di banyak tempat lainnya ?


Pemilu yang demokratis hanya mungkin tercipta bila semua aktor terutama penyelenggara—berkomitmen pada etika publik. DKPP bukan sekadar lembaga administratif, ia adalah benteng moral demokrasi. Jika tembok ini runtuh karena kompromi politik atau tekanan kekuasaan, maka jangan salahkan rakyat bila akhirnya muak pada demokrasi itu sendiri. (Red).