Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Beberapa hari lalu tiga lembaga swadaya masyarakat dari Provinsi Lampung menggelar aksi damai di depan kantor Kejaksaan Agung RI. Mereka mendesak agar proses penyelidikan terhadap dua petinggi PT. Sugar Group Companies (SGC) yakni Purwanti Lee “ nyoya lee” dan Gunawan Yusuf dilakukan secara terbuka dan tuntas. Nama keduanya disebut-sebut dalam kesaksian sidang tindak pidana korupsi terkait dugaan suap senilai Rp50 miliar yang menyeret oknum makelar kasus di Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Zarof mengaku menerima sejumlah uang yang menurut kesaksiannya berasal dari petinggi SGC. Pernyataan ini mengejutkan publik karena menyiratkan keterhubungan antara korporasi besar dan proses penegakan hukum tingkat tinggi. Jika ini benar adalah ancaman serius bagi prinsip keadilan.
Kesaksian Zarof Ricar membuat Kejaksaan Agung merespons dengan memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan termasuk dua nama yang disebut diatas . Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi yang menjelaskan secara rinci tahapan proses hukumnya. Ketertutupan ini menimbulkan banyak pertanyaan publik dan sekaligus mengundang asumsi-asumsi liar yang seharusnya bisa dicegah dengan keterbukaan informasi.
Di kalangan masyarakat Lampung PT. SGC dikenal sebagai korporasi besar yang memiliki pengaruh ekonomi signifikan. Namun tidak sedikit yang menganggap bahwa perusahaan ini terlalu kuat untuk disentuh hukum. Berbagai laporan atau aduan publik kerap tidak mendapatkan tindak lanjut. Persepsi ini benar atau tidak, berbahaya bagi kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Salah satu tuntutan yang mengemuka dari para pengunjuk rasa adalah pengukuran ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. SGC. Tuntutan ini penting karena luas dan batasan HGU yang tidak jelas dapat membuka celah konflik agraria. Pengukuran ulang dapat menjadi langkah awal untuk mengurai potensi pelanggaran tata kelola lahan.
Namun pengalaman menunjukkan bahwa permintaan pengukuran ulang HGU sering kali tidak membuahkan hasil. Contoh nyatanya adalah konflik lahan antara masyarakat Lima Keturunan Bandar Dewa dengan PT. Huma Indah Mekar (HIM) di Tulang Bawang Barat. Meski telah ada keputusan administratif dari BPN dan pemerintah daerah akan tetapi proses pengukuran ulang lahan seluas 1.470 hektar belum kunjung dilakukan alias mandek.
Kasus SGC ini tidak hanya menyangkut dugaan suap pengadilan tetapi juga membuka babak baru dalam memahami dinamika hubungan antara modal besar, kekuasaan politik lokal.dan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan-perusahaan besar kadang memiliki peran dalam pemilihan kepala daerah. Dukungan tersebut sering dipandang sebagai investasi politik jangka panjang yang sarat dengan nuansa kepentingan.
Pertanyaannya apakah keterlibatan para petinggi perusahaan besar seperti SGC dalam dunia politik lokal semata-mata untuk tujuan bisnis ?. Ataukah hal itu dilakukan demi menjaga kepentingan internal yang lebih kompleks seperti penguasaan lahan, perizinan dan struktur monopoli pasar ?.
Jika keterlibatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi arah kebijakan publik atau proses penegakan hukum, maka kita berhadapan dengan bentuk oligarki yang nyata dan di mana korporasi tidak hanya menjadi pelaku ekonomi, tetapi juga aktor politik bayangan yang sangat berkuasa. Ini sangat berbahaya.
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung kini berada dalam sorotan. Proses hukum terhadap nama-nama besar harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan badan publik untuk memberikan informasi kepada masyarakat terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umum.
Jika publik melihat ada ketimpangan perlakuan hukum antara warga biasa dan tokoh korporasi maka narasi "hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah" akan semakin menguat. Dan jika keadilan dirasa tidak hadir maka jangan heran jika ruang-ruang protes akan berpindah dari pengadilan ke jalanan dan media sosial.
Kita perlu mencatat bahwa perkara ini bukan semata perkara individu atau perusahaan. Ini adalah ujian terhadap keberanian institusi negara dalam melawan dominasi modal dan kekuasaan. Ketika keadilan hanya bisa dicapai oleh yang kuat maka republik ini sedang berada dalam krisis paling mendasar. Karena itu publik harus tetap bersuara. Media harus tetap mengawal. Dan aparat penegak hukum harus tetap berdiri di atas konstitusi bukan di bawah bayang-bayang oligarki. (Red)