Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Program Koperasi Merah Putih (KMP) yang digagas Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi “ Magnet” di kalangan masyarakat desa. Dengan semangat dan slogan pemerataan ekonomi dan pembangunan berkeadilan berbasis pada akar rumput pedesaan, program tersebut digadang-gadang sebagai solusi konkret untuk mengatasi ketimpangan sosial - ekonomi yang selama ini mengakar.
Bahkan pemerintah mengalokasikan dana sangat besar mencapai 240 triliun hingga 250 triliun dan ini salah satu suntikan anggaran terbesar dalam sejarah koperasi di indonesia. Dimana setiap koperasi desa akan mendapatkan pinjaman modal sebesar 3 miliar yang wajib dikembalikan dalam tempo beberapa tahun kemudian.
Sekilas memang tampak mulia dengan pinjaman uang 3 miliar. Namun di balik gegap gempita retorika pembangunan desa, setidaknya diprediksi akan muncul tanda - tanda ironi lama yang tak kunjung diselesaikan. Apalagi kalau bukan watak mental jiwa koruptif yang sudah mengakar di lapisan birokrasi desa hingga elite lokal. Watak itu kini tumbuh subur bak benalu di musim hujan.
Mengambil sedikit pernyataan dari Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia pernah pernah menyatakan bahwa Koperasi adalah alat perjuangan ekonomi rakyat yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan keadilan sosial.
Dan pandangan ini diakomodir secara eksplisit dalam konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Landasan legalitas formal inilah yang menjiwai berdirinya koperasi sebagai amanah undang undang dasar 1945.
Ironisnya wajah ekonomi kita justru menjauh dari cita-cita tersebut. Sebaliknya yang hadir justru sistem ekonomi bercorak kapitalisme-liberalisme, di mana koperasi hanya menjadi hiasan administratif atau sebatas kendaraan mencari proyek.
Dalam sejarahnya ribuan koperasi di Indonesia tumbang karena satu persoalan klasik tidak lain penyalahgunaan wewenang pengurusnya yang berjiwa koruptif. Laporan Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 80% koperasi yang tidak aktif atau bubar, disebabkan karena kegagalan manajerial, konflik internal, dan praktik moral hazard dari pengelolanya.
Maka pertanyaannya apakah Koperasi Merah Putih akan mengulang sejarah gelap yang sama? Di banyak daerah pendirian koperasi Merah Putih tidak dilandasi oleh kesadaran ideologis membangun ekonomi kolektif.
Justru banyak pengurus terpilih merupakan aparatur desa, elite lokal, hingga orang-orang dekat kekuasaan yang melihat koperasi sebagai adang proyek. Mereka berebut posisi bukan karena ingin membangun koperasi rakyat tapi demi mengakses dana pinjaman 3 miliar yang dijanjikan.
Sama seperti fenomena pemilihan kepala desa yang kini kian pragmatis. Ingin jadi kepala desa bukan karena semangat pengabdian namun karena tergiur dengan Dana Desa yang mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Hasilnya melahirkan potensi penyimpangan dan pembentukan mental korupsi baru pun sangat besar di desa.
Koperasi Merah Putih bisa saja menjadi wajah baru dari korupsi berjamaah di desa yang dibungkus dengan jargon ekonomi rakyat. Kita harus belajar dari skandal dana desa di berbagai daerah, dimana ratusan kepala desa kini berurusan dengan penegak hukum karena penyalahgunaan anggaran.
Dibalik itu program koperasi Merah Putih harus diakui sangat sarat dengan pencitraan kepentingan politik kekuasaan. Bukannya menjadi ruang perjuangan ekonomi kerakyatan. Saatnya kita kembali ke makna asli koperasi sebagaimana diajarkan Bung Hatta. (Red)