Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Dalam bingkai demokrasi perwakilan kegiatan reses harus menjadi momen emas bagi wakil rakyat sebagai penyambung lidah rakyat. Bukan penyambung lidah kosong belaka.
Tujuan reses adalah sederhana untuk menyerap aspirasi konstituen memahami denyut nadi persoalan serta membawanya ke ruang -ruang kebijakan. Pertanyaannya benarkah? reses menjadi ajang menyerap aspirasi atau justru menjadi ladang panggung tebar pesona.
Kegiatan reses adalah amanah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 khususnya Pasal 72. Disebutkan reses anggota dewan adalah melakukan kegiatan di luar masa persidangan, baik di dapil masing - masing maupun dalam bentuk kunjungan kerja.
Makna reses bukanlah kegiatan sukarela tetapi kewajiban konstitusional. Negara membayar semua ongkosnya dari akomodasi hingga laporan hasil reses. Sepatutnya kegiatan reses bukan sekadar formalitas saja atau rutinitas yang hampa makna dan harus disertai pertanggungjawaban.
Di dalam reses idealnya berbentuk dialog interaktif antara wakil rakyat dan konstituennya. Forum reses semestinya membuka ruang curhat publik dimana rakyat menyampaikan keluhan, saran, bahkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah.
Disinilah wakil rakyat diuji apakah hadir untuk mendengar atau sekadar bicara? Di banyak tempat reses kerap berubah menjadi monolog sepihak. Wakil rakyat lebih banyak menyampaikan program-program yang telah berjalan ketimbang menyimak keluhan masyarakat.
Bahkan tak jarang forum reses dijadikan ajang pencitraan seperti bagi - bagi sembako, spanduk ucapan, hingga dokumentasi berlebihan untuk konten media sosial. Semuanya agar terlihat bekerja dimata publik. Pola kerja semacam ini masih terasa terlihat setiap selesai reses.
Ironisnya setelah reses usai..! banyak aspirasi masyarakat tak pernah kembali diberi kabar. Laporan hasil reses yang diserahkan ke sekretariat dewan hanya menjadi tumpukan kertas tanpa implikasi kebijakan nyata. Reses hanya menjadi tumpukan dokumen tanpa makna.
Pertanyaan kembali timbul apakah hanya dalam reses suara masyarakat layak didengar? Apakah jika tidak dalam jadwal reses jeritan rakyat suara rakyat lalu terus diabaikan? Faktanya banyak wakil rakyat abai, bahkan tertutup terhadap suara publik di luar masa reses. Ini yang terjadi. Mereka sibuk dengan kenikmatannya sendiri.
Ketika rakyat mendatangi kantor dewan untuk menyampaikan keluhan biasanya hanya disambut oleh pintu kosong atau staf protokoler. Sebaliknya kantor kadang sepi. Biasanya disambut alasan klasik lagi sibuk DL (Dinas Luar). Hasil DL kadang pun tidak jelas manfaatnya.
Setidaknya menunjukkan lemahnya budaya representasi dan rendahnya kepekaan politik wakil rakyat. Kita berharap jangan sampai reses wakil rakyat dengan masyarakat hanya sebatas menyusun daftar menu harapan belaka, tanpa realisasi. (Red)