Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP - Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Presiden Prabowo kembali membuat kejutan dengan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan dan abolisi kepada Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan diera Jokowi.
Keduanya dikenal sebagai tokoh yang sempat menjadi oposisi “ pilpres ” dan simbol perlawanan terhadap pemerintahan sebelumnya. Mereka juga menjadi subjek kontroversi yang menciptakan perdebatan publik mengenai adanya kriminalisasi politik hukum.
Alasan pemberian amnesti -dan abolisi sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional tidak serta merta diterima begitu saja. Sebagian pihak berpandangan lain akan menjadi wajah buruk dalam masalah penegakan hukum khususnya dalam masalah korupsi.
Pemberian amnesti dan abolisi memberi pesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan dibicarakan jika konteks politik berubah. Di tengah harapan akan era baru yang lebih stabil justru dihadapkan pada dilema lama yakni antara keadilan dan kekuasaan.
Dalam perspektif hukum ketatanegaraan pemberian amnesti - abolisi memiliki dasar konstitusional. Amnesti - abolisi hak prerogatif presiden namun harus ada pertimbangan DPR dan MA. UUD 45 Pasal 14 telah mengaturnya. Akan tetapi pertimbangan tidak mengikat.
Banyak pihak yang menilai pemberian amnesti dan abolisi sebuah bentuk kemunduran dalam penegakan pemberantasan korupsi. Novel Baswedan, mantan penyidik KPK dan ICW menyatakan keprihatinannya.
Sebalik Prof Jimmy dan Prof Mahfud memberi penilaian yang berbeda bahwa pemberian amnesti dan abolisi adalah sikap bijak dari Presiden Prabowo. Mereka menilai kasus Tom Lembong dan Hasto serat dengan permainan politik.
Jika keputusan seperti amnesti dan abolisi menjadi praktik yang lazim setiap kali kekuasaan berpindah tangan maka negara secara perlahan akan menyerahkan supremasi hukum kepada logika kompromi politik.
Dalam sejarah tidak asing dengan praktik pengampunan. Di masa Presiden Habibie,misalkan banyak tahanan politik Orde Baru dibebaskan sebagai tanda dimulainya era Reformasi. Pengampunan itu berkaitan dengan penahanan karena disebabkan perbedaan paham pemikiran ideologi politik.
Dalam kasus Presiden Prabowo pengampunan ini terjadi terhadap tokoh-tokoh yang terlibat atau diduga terlibat dalam dugaan kejahatan korupsi dan manipulasi anggaran.
Dengan demikian tentunya publik berhak mempertanyakan apakah ini proses rekonsiliasi yang jujur atau sekadar strategi mengamankan elite politik demi stabilitas politik jangka pendek kepentingan kekuasaan semata?
Rekonsiliasi sejati membutuhkan pengakuan. Butuh kebenaran. Butuh kejujuran bahwa hukum pernah disalahgunakan demi membunuh lawan politik yang berseberangan. Setidaknya ini yang harus menjadi catatan. Kekuasaan tidak boleh menjadikan hukum sebagai alat politik memasukan seseorang yang tidak bersalah.
Pemberian amnesti dan abolisi bisa menjadi momentum jika disertai dengan reformasi mendalam di tubuh lembaga peradilan, Kejaksaan, KPK, dan kepolisian. Jangan sampai sebagai alat pencitraan politik hukum kekuasaan. (Red)