Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang digelar 13 Juni 2025 di Sekretariat KPU Lampung menyajikan lebih dari sekadar Sengketa Etik semata. Namun membuka perdebatan “ Dialektik Kritis ” yang jauh lebih substansial yakni siapa yang berhak menjaga integritas pemilu yang sesungguhnya.
Kasus yang menyeret Bawaslu Kabupaten Tulang Bawang Barat sebagai teradu mengemuka setelah laporan pengaduan “ Ahmad Basri ” yang tergabung dalam Relawan Rakyat Tubaba Bersatu (R2TB) dipersoalkan legalitasnya. Masalahnya bukan semata substansi laporan melainkan siapa yang menyuarakannya.
Tentu ini menjadi kajian diskursus yang menarik. Apakah Pengadu yang tergabung dalam wadah R2TB tidak memiliki legal standing “ Subyek Hukum “ sebagai pengadu di DKPP RI sebagaimana yang dipermasalahkan di ruang sidang.
Bawaslu Tubaba berpendapat bahwa pelapor haruslah pihak “ orang berkepentingan langsung” sebagai peserta pemilu atau entitas formal lainnya atau yang tercatat di KPU Tubaba. Logika Formalistik Administratif ini yang mencuat di persidangan, Seolah - olah di luar itu tak memiliki hak konstitusional.
Padahal landasan yuridis konstitusional sudah jelas. Lihat dalam UUD 45 Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1 ), Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F. Dan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 448 (1) dan (2). Tidak eksplisit bahwa hanya peserta pemilu yang berhak melapor jika ada kecurangan dalam Pemilu - Pilkada. Artinya, ada ruang partisipasi publik tetap terbuka dan itulah Ruh Demokrasi yang sesungguhnya.
Mengunci tafsir argumen legal standing “ Subyek Hukum ”, hanya pada aktor formal semata adalah bentuk Eksklusivisme Demokrasi yang menyesatkan dan tidak demokratis serta menutup partisipasi publik dalam pemilu pilkada. Pengawasan tidak boleh menjadi Monopoli Elite penyelenggara atau peserta pemilu. Demokrasi adalah sistem yang bekerja karena mata publik selalu mengawasi.
Jika masyarakat sipil, relawan atau jurnalis, tidak diberi ruang untuk melapor, maka pemilu hanya menjadi Seremoni Legitimasi kekuasaan, dan bukan ajang pertarungan gagasan dan integritas bagaimana membangun Nilai - nilai kejujuran.
Para ahli hukum tata negara seperti Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar misalkan, telah berkali-kali menegaskan bahwa rakyat adalah pihak yang paling berkepentingan terhadap pemilu yang jujur. Jika hasil pemilu dimanipulasi maka yang pertama dirugikan adalah pemilih itu sendiri. Artinya, posisi rakyat bukan sekedar penonton melainkan subjek utama dalam sistem pengawasan elektoral dalam Pemilu - Pilkada.
Dalam konteks relawan seperti R2TB haruslah ditempatkan sebagai mitra bukan sebaliknya diposisikan sebagai musuh dalam pemilu tapi garda sipil yang merawat proses demokrasi dari bawah yang tumbuh dari akar rumput. Relawan hadir di Ruang -ruang yang tak terjangkau lembaga formal yang bergerak di pelosok, di Dusun - dusun, di TPS , dan dibalik ketidak pedulian publik. Menafikan peran relawan berarti membiarkan ruang gelap pemilu pilkada tetap tak tersentuh cahaya.
Legal standing dalam konteks ini tak bisa semata diukur dari aspek formal administratif. Harus dilihat sebagai bagian dari semangat konstitusional bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Menolak laporan relawan berarti membungkam suara rakyat anti demokrasi.
Dan demokrasi seperti ini diingatkan oleh Jimly Asshiddiqie mantan ketua DKPP RI bahwa demokrasi tak akan hancur oleh kekuasaan melainkan oleh diamnya rakyat. Diam tak peduli “ Apatisme " dengan segala bentuk kecurangan dan kebohongan.
Harus dipahami bahwa kasus pengadu yang tergabung dalam Relawan Rakyat Tubaba Bersatu ( R2TB ) bukan sekedar sengketa di DKPP semata. Namun cermin dan mempertegas betapa sistem demokrasi masih gamang memberi ruang pada rakyat untuk berpartisipasi secara kritis dan terbuka. Kita masih memilih dan terus bertahan dalam tafsir argumen sempit yang membungkam partisipasi publik. (Red)