Breaking news

Selasa, 03 Juni 2025

Juni 03, 2025

13 KPM Warga Sungai Pinang Nibung Terima BLT-DD Tahun 2025


Ogan Ilir | Prokontra.news | - pemerintahan Desa Sungai Pinang Nibung, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) merealisasikan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa (DD) tahun 2025 tahap dua bulan April, Mei dan Juni kepada 13 keluarga penerima manfaat (KPM).


Kegiatan tersebut dilaksanakan di kantor desa, dihadiri oleh Camat Sungai Pinang, Pendamping Desa, Babinkamtibmas, Babinsa, Kasi PMD dan Warga Masyarakat, Perangkat Desa serta Para Tamu Undangan lainnya,


Kepala Desa (Kades) Sungai Pinang Nibung Kamaludin, mengatakan "Ya benar kita hari, dalam rangka acara pembagian bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD) kepada 13 keluarga penerima manfaat (KPM), paparnya kepada wartawan media ini saat di kantornya pada Selasa (03/06/2025). 


Lebih lanjut, adapun bantuan BLT-DD yang disalurkan ini untuk bulan April Mei Juni tahun 2025 dengan rincian dalam satu bulannya sebesar Rp 300.000 rupia jadi yang diterima oleh setiap KPM hari ini sebesar Rp 900.000 rupiah untuk tiga bulan, imbuhnya.


Bagi KPM yang menerima bantuan langsung tunai (BLT) ini sudah sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah seperti  sakit dan lansia serta lain sebagainya, urainya.


Tentunya kami selaku pemerintah desa sangat bersukur dengan adanya bantuan BLT-DD ini karena dapat membantu kelurga yang miskin walau uang ini tidak banyak namun setidaknya dapat mengurangi beban ekonomi bagi mereka,


Dengan telah dibagikannya BLT-DD ini kami berharap, agar dapat dipergunakan dengan sebaik mungkin uangnya ini oleh KPM jangan sampai disalahgunakan, belikan lah sesuai kebutuhan dapur, apa lagi kita tidak lama lagi akan hari raya Idul Adha," tutupnya.


Pengirim berita : (Aprianto)

Juni 03, 2025

Pasar Semi Moderen Pulung Kencana : Simbol Ambisi Atau Gagal Rekayasa Pembangunan?


Penulis :

Ahmad Basri 

Ketua : K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news |- Di penghujung masa jabatan Umar Ahmad sebagai Bupati Tulang Bawang Barat, dibangunlah sebuah mega proyek bernama Pasar Semi Moderen Pulung. Proyek mercusuar ini memakan biaya hampir Rp105 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui skema pembiayaan multi-year dan pihak ketiga.


Sejak awal, proyek ini telah menimbulkan banyak tanda tanya, tidak hanya karena anggaran yang fantastis, tetapi juga karena proses pembangunan yang disinyalir menyimpang dari spesifikasi konstruksi yang seharusnya.


Pasar yang dulunya merupakan pusat aktivitas perdagangan tradisional masyarakat Pulung Kencana, dirombak menjadi bangunan dua lantai dengan desain yang disebut - sebut berarsitektur "setengah jadi" – dinding kusam tanpa cat, infrastruktur seadanya, dan minim perencanaan matang. Harapannya, pasar ini menjadi simbol kemajuan dan wajah baru ekonomi Tubaba. Namun realitas berkata lain.


Alih-alih menjadi pusat pergerakan ekonomi rakyat, Pasar Semi Moderen Pulung Kencana kini mangkrak, terbengkalai, bahkan bertransformasi menjadi ruang yang tidak sesuai dengan fungsi awalnya. Lantai dua yang awalnya disiapkan untuk pedagang kini kosong melompong, dan satu per satu pedagang lantai dasar pun mulai hengkang. Di malam hari, pasar ini justru menjadi tempat hiburan musik dan warung kopi, jauh dari esensi sebuah pasar rakyat.


Pemerintah daerah awalnya merancang pengelolaan pasar melalui konsep BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), yang dalam teori memungkinkan pengelolaan pasar lebih fleksibel dan efisien seperti badan usaha. 


Namun dalam praktiknya, pengurus BLUD tersangkut kasus korupsi, dan sistem manajemen pasar pun mati sebelum berjalan. Tidak ada mekanisme pelayanan, tidak ada transparansi, dan tidak ada daya dorong ekonomi yang menjanjikan.


Bisa dikatakan, Pasar Semi Moderen Pulung Kencana adalah bayi prematur yang dipaksa lahir sebelum waktunya. Tidak ada riset pasar, tidak ada kajian ekonomi mikro daerah, dan tidak ada pertimbangan tentang daya beli masyarakat yang saat itu sedang terpukul krisis ekonomi. Proyek ini tampak lebih sebagai obsesi pembangunan daripada solusi untuk kebutuhan nyata warga Tubaba.


Tanggal 3 Juni 2025, dilangsungkan "soft opening" Papuke Foodcourt, sebuah inisiatif baru yang memanfaatkan lantai dua pasar untuk kegiatan kuliner berbasis UMKM. Gagasan ini tentu patut diapresiasi karena mencoba menghidupkan kembali denyut ekonomi lokal. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah ini solusi struktural atau hanya tambal sulam kosmetik semata?


Jika UMKM dipaksa menempati ruang yang bukan diperuntukkan bagi mereka sejak awal, lalu bagaimana dengan pedagang pasar yang menjadi ruh utama tempat ini ? Alih fungsi secara sepihak ini justru memperlihatkan bahwa kebijakan pembangunan yang gagal kini ditutupi dengan narasi pemberdayaan ekonomi yang baru. Ada aroma rekayasa citra untuk menutupi kegagalan yang mendasar.


Penulis berpendapat bahwa lokasi strategis untuk pengembangan kuliner UMKM seharusnya ditempatkan di kawasan Islamic Center, yang lebih layak dari segi akses, tata ruang, hingga daya tarik publik. Pasar semi modern Pulung seharusnya dikembalikan pada fungsinya sebagai pusat perdagangan rakyat.


Pemerintahan baru di Tubaba punya pekerjaan rumah yang besar. Menghidupkan kembali pasar rakyat yang telah kehilangan ruhnya. Kembalikan para pedagang tradisional ke tempat ini, bukan malah mengalih fungsikan bangunan tanpa evaluasi menyeluruh. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan lahirnya kebijakan-kebijakan "malas berpikir", yang hanya memindahkan masalah tanpa menyentuh akar persoalan.


Pasar Semi Moderen Pulung Kencana bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol dari bagaimana kegagalan dalam perencanaan, ketiadaan partisipasi publik, dan arogansi dalam pembangunan bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan daerah. (Red)

Minggu, 01 Juni 2025

Juni 01, 2025

Gaya Hidup Mewah Pejabat Publik : Kehancuran Moral dan Hukum

Penulis :

Ahmad Basri 

Ketua : K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news |- Di tengah masyarakat yang masih bergelut dengan ketimpangan sosial dan ekonomi, pamer gaya hidup mewah justru menjelma menjadi semacam budaya baru. Media sosial menjadi panggung paling efektif untuk “ bergaya “ rumah mewah, mobil mewah, tas bermerek, hingga liburan eksklusif.


Dulu, praktik ini umumnya hanya dilakukan kalangan selebritas, sebagai bagian dari dunia hiburan yang memang menuntut tampil gemerlap. Namun kini, panggung itu dibanjiri oleh mereka yang mengaku atau menjabat sebagai pejabat publik. Ironisnya, mereka yang benar-benar kaya raya seperti para konglomerat dunia justru cenderung tampil sederhana.


Konglomerat dunia seperti, Bill Gates, Warren Buffett, hingga Elon Musk dikenal luas dengan gaya hidup yang jauh dari glamor. Mereka lebih sibuk membangun dan menciptakan nilai tambah, daripada sekadar memamerkan hasil. Kekayaan mereka bisa dilacak dari jejak bisnis yang panjang dan terang. Mereka tak perlu mengumbar harta, karena dunia sudah mencatatnya. Dunia sudah mengakuinya.


Berbeda halnya dengan sebagian pejabat publik di negeri ini. Media sosial kini penuh dengan pamer kekayaan yang mencolok dari kalangan yang seharusnya menjadi pelayan rakyat. Dari pusat hingga ke daerah, dari kementerian hingga lembaga daerah, sejumlah oknum tampak begitu gemar memperlihatkan kemewahan hidup. Padahal, gaji dan tunjangan mereka telah diatur dan dicatat dalam sistem administrasi negara.


Maka tak pelak, publik pun bertanya dari mana sumber kekayaan itu? Pamer kemewahan yang dilakukan oleh pejabat publik bukan sekadar persoalan etika sosial, melainkan juga menjadi semacam penghinaan terbuka terhadap hukum dan rakyat.


Kasus di Kementerian Keuangan beberapa tahun lalu lalu menjadi bukti nyata bagaimana gaya hidup mewah bisa membuka borok besar tentang praktik korupsi yang sistemik dan terstruktur. Ketika seorang pejabat pajak bisa memiliki ratusan miliar rupiah yang tak sesuai dengan profil penghasilannya dan dengan bangga memamerkannya di media sosial, itu bukan sekadar show off.


Itu adalah bentuk arogansi kekuasaan, dan sinyal bahwa korupsi sudah merasa tak perlu lagi disembunyikan. Lebih tragis, kemewahan yang dipamerkan itu justru berasal dari uang haram, dari hasil perampokan uang rakyat. Ini bukan sekadar tindakan tidak etis, melainkan simbol penghinaan yang sangat dalam terhadap institusi hukum.


Ironisnya, hari ini, masyarakat menyaksikan bagaimana para penegak hukum kerap menjadi bagian dari permainan yang mereka seharusnya bubarkan. Penegakan hukum terhadap korupsi seolah mengalami amputasi moral. Tidak sedikit yang percaya bahwa sebagian lembaga hukum telah menjadi bagian dari jaringan kekuasaan gelap yang melindungi para pelaku korupsi.


Pamer harta kekayaan oleh pejabat publik adalah tanda pengkhianatan paling telanjang terhadap integritas negara. Mereka bukan hanya sedang memamerkan kemewahan, tetapi juga mempermalukan bangsa di hadapan rakyat yang hidup dalam kesulitan. Mereka sedang menyampaikan pesan buruk bahwa keadilan sosial tinggal slogan kosong dan hukum hanya milik mereka yang punya uang.


Pamer gaya hidup mewah oleh pejabat publik bukanlah persoalan sepele. Itu adalah tindakan simbolik yang memuat pesan: “Kami tidak takut hukum.” Dan justru di situlah letak persoalan terbesar bangsa ini. Ketika hukum kehilangan taringnya, dan rasa malu tak lagi ada, maka bangsa ini berada dalam bahaya besar. Kehancuran moral dan hukum. (Red)

Juni 01, 2025

Pancasila Ideologi Berpikir Bukan Ideologi Ketakutan


Penulis :

Ahmad Basri

Ketua : Ketua K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news |- Apa itu ideologi ? Dalam pengertian keilmuan, ideologi adalah konsep rasional, dapat dikaji, dipelajari, dikritisi. Bukan doktrin mistik. Bukan khayalan fatamorgana. Ideologi adalah jiwa yang bisa hidup atau mati, tergantung bagaimana kita merawatnya.


Ideologi Pancasila sejatinya  memuat harapan dan cita-cita. Ia tidak boleh membeku dalam kitab suci kekuasaan. Ia harus bisa tumbuh, berdarah, merasakan denyut masyarakat yang diwakilinya. Tanpa itu ia hanya akan menjadi tugu sunyi: indah dalam pidato, kosong dalam kenyataan.


Sejarah dunia penuh dengan bermacam ideologi. Ada nasionalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, feminisme, hingga anarkisme. Banyak diantaranya lahir dari luka sosial dan janji perubahan. Tapi tak semua berhasil. 


Fasisme dan komunisme, misalnya, runtuh bukan karena kekuatan senjata lawan tapi karena gagal menjawab kerinduan manusia akan keadilan dan kebebasan. Mereka berubah menjadi ideologi teror ideologi ketakutan yang mengatur sampai isi pikiran rakyatnya.


Di negeri ini kita punya Pancasila. Setiap tanggal 1 Juni kita memperingati “ Hari Lahirnya Pancasila”. Pancasila bukan keris pusaka yang hanya diangkat saat upacara. Bukan jimat yang disimpan dalam peti sejarah. Pancasila harus hadir dalam nafas kehidupan masyarakat.


Tapi hari ini, seringkali Pancasila diperlakukan seperti dogma tertutup. Siapa yang berbeda tafsir dianggap sesat. Siapa yang mengkritik dituduh anti-NKRI. Maka lahirlah jargon-jargon " Paling Nasionalis" " Paling Pancasilais"  yang tak lebih dari klaim kuasa atas tafsir ideologi. Pancasila jadi alat penghakiman bukan ruang percakapan bukan ruang dialog kebebasan berpikir.


Padahal Pancasila seharusnya menjadi ideologi berpikir. Pancasila hidup karena bisa dipikirkan, diuji, bahkan dikritik. Rakyat harus punya hak bertanya apakah benar nilai " kemanusiaan yang adil dan beradab " telah nyata? Apakah " keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia " hanya sekadar kalimat indah dalam buku teks?


Jika yang miskin tetap digusur atas nama pembangunan. Jika suara rakyat ditindas demi atas nama stabilitas lalu dimana Pancasila kita letakkan? Jika yang kaya makin berkuasa dan yang lemah semakin terpinggirkan bukankah kita sedang menjauh dari ruh ideologi itu sendiri.


Sebagaimana pesan Rhoma Irama dalam baitnya: " Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin..." Jangan sampai ini menjadi potret utuh bangsa yang katanya berideologi Pancasila.


Jangan biarkan Pancasila jadi mitos agung yang tak bisa disentuh. Jangan biarkan Pancasila mati perlahan dalam pidato-pidato megah yang tak pernah menyentuh bumi. Biarkan Pancasila berpikir. Biarkan rakyat menafsirkan. Biarkan Pancasila menjadi milik semua bukan monopoli segelintir elite untuk memberi argumen atas kehendaknya sendiri.


Karena sejatinya Pancasila “ tidak sakti “ karena tahan pukulan. Pancasila sakti jika mampu memberi rasa adil dan merangkul manusia dalam kemanusiaan. Dan itu hanya mungkin jika Pancasila terus hidup dalam pikiran dalam tindakan, dalam cinta kepada sesama. (Red)

Juni 01, 2025

Haji, "Berdzikir dan Bersholawat "Antara Ritual dan Moralitas

Penulis : 

Ahmad Basri 

Ketua : K3PP Tubaba

Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Sering timbul pertanyaan mendasar dalam benak kita: mengapa negara-negara seperti Jepang, AS, Kanada, Singapura, Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swiss, Singapura, Swedia, Norwegia, Belanda, Luksemburg, dan Jerman memiliki tingkat korupsi yang paling rendah di dunia? Padahal, secara teologis, negara-negara tersebut tidak menjadikan agama sebagai fondasi kehidupan sosial dan kenegaraan. 


Mereka menganut paham sekularisme yang cenderung “ ateis “ , di mana agama dianggap urusan pribadi, bukan sesuatu yang melekat dalam ranah publik atau kebijakan negara. Agama harus terpisah dalam urusan publik.


Ironisnya, negara-negara yang disebutkan tadi bukanlah negara dengan populasi mayoritas Muslim. Bahkan, praktik keagamaan secara formal di sana sangat minim terlihat hampir tidak nampak di permukaan. Namun justru di sanalah etika publik, disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab sosial tumbuh kuat. 


Lantas bagaimana dengan Indonesia—sebuah negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yang kehidupan sosial dan kenegaraannya sangat kental dengan identitas religius. Ritual keagamaan hampir menjadi bagian kehidupan sosial Masyarakat yang tak terpisahkan.  


Data menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah jemaah haji dan umrah terbanyak di dunia. Masjid , pondok pesantren menjamur di setiap pelosok, pengajian dan majelis dzikir ada hampir setiap malam, dan gema sholawat menggema di berbagai tempat. Tidak pernah sepi.


Namun mengapa semua itu tidak berbanding lurus dengan perilaku moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta pahitnya menunjukan indeks persepsi korupsi Indonesia masih tergolong tinggi.


Praktik korupsi merajalela di berbagai sektor—dari birokrasi pemerintahan hingga lembaga pendidikan dan keagamaan. Bahkan, korupsi telah menjadi budaya yang diwariskan dan dilestarikan, bukan untuk dilawan.


Lalu, apa makna semua ritual keagamaan “ pergi haji “  yang marak itu jika tidak menghadirkan transformasi moral dan spiritual dalam tindakan nyata.  Mengapa berhaji, dzikir dan sholawat yang menggema tidak mampu menembus hati dan menggetarkan nurani dalam dimensi moral kehidupan sosial ketata negaraan. 


Terlalu banyak orang yang menjadikan agama ‘ haji ” sebagai simbol dan identitas, bukan sebagai nilai hidup kehidupan. Dzikir hanya menjadi ritual, bukan refleksi batin. Sholawat hanya menjadi lantunan, bukan pemantik cinta sejati kepada Nabi Muhammad SAW.


Padahal, Rasulullah adalah sosok yang paling tegas menolak korupsi, suap, dan segala bentuk ketidakadilan. Keteladanan beliau adalah puncak dari integritas moral, keadilan sosial, dan kepedulian terhadap sesama.


Hari ini, di bulan ini jutaan umat islam termasuk dari indonesia berkumpul di mekkah madinah untuk menunaikan ibadah haji sebagai pondasi rukun islam . 


Namun pertanyaannya apakah semua itu hanya menjadi seremonial, atau momentum untuk menghidupkan kembali ajaran islam “ Nabi Ibrahim “  dalam kehidupan sosial kita. 


Berhaji seharusnya menjadi cermin bukan hanya panggung. Meneladani risalah kenabian bukan sekedar bersholawat, berdzikir akan tetapi membumikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.


Bicara perilaku korupsi adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap ajaran risalah kenabian. Ia merampas hak orang banyak, menghancurkan keadilan, dan mempermalukan agama itu sendiri. 


Andaikan Nabi Muhammad SAW masih hidup hari ini, barangkali beliau akan meneteskan air mata, menyaksikan umatnya yang begitu rajin berhaji, umroh, berdzikir namun tak jujur, dan yang fasih bersholawat berdzikir namun gemar berkhianat.


Maka berdzikirlah dengan hati, bukan sekadar bibir. Bersholawatlah dengan tindakan, bukan hanya dengan suara. Jangan sampai kita terperangkap dalam simbolisme religius yang hampa makna. (Red)

Sabtu, 31 Mei 2025

Mei 31, 2025

Konsep Nenemo : Filosofi Budaya dan Pembangunan – Antara Khayalan atau Kenyataan?


Penulis :
Ahmad Basri
Ketua : K3PP Tubaba

Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Di tengah gelombang retorika pembangunan berkelanjutan yang kini digaungkan oleh Bupati terpilih Novriwan Jaya dan Wakil Bupati Nadirsyah, publik layak bertanya: pembangunan berkelanjutan yang seperti apa yang dimaksud? Apakah ini sekadar kelanjutan dari warisan pendahulunya, Umar Ahmad—atau ada pijakan baru yang lebih konkret dan menyentuh realitas rakyat?


Di Tubaba, konsep pembangunan sejak awal berdiri telah mengusung narasi budaya lokal melalui satu kata kunci yang nyaris sakral: Nenemo. Tiga nilai inti yang dikandungnya—Nemen (tekun), Nedemo (berani), dan Nerimo (ikhlas)—dijadikan pondasi filosofis pembangunan.


Dalam narasi resmi, Nenemo adalah ruh dan arah. Ia digadang -bgadang sebagai suluh pembangunan berbasis budaya dan spiritualitas lokal.


Namun, dalam kenyataan yang kita saksikan hari ini, Nenemo lebih sering menjelma menjadi mantra kosong, simbol kosmetik yang jauh dari implementasi substansial. Ia hadir sebagai jargon, bukan sebagai nilai hidup; sebagai hiasan pidato, bukan sebagai panduan kebijakan.


Bangunan - bangunan monumental seperti Uluan Nughik, Pasar Seni Tubaba, Pasar Semi Modern Pulung, hingga patung - patung ikonik dan kompleks Islamic Center yang megah memang tampak membanggakan. Semuanya dipersembahkan sebagai wujud kebangkitan budaya lokal.


Namun mari kita jujur. Apa makna estetika jika infrastruktur dasar masih compang - camping? Jalan desa rusak, akses air bersih minim, sekolah kekurangan fasilitas, dan pelayanan kesehatan tak menjangkau lapisan bawah masyarakat. Lebih miris lagi, masih banyak kantor OPD yang tak layak huni. Di sinilah terjadi ironi: megah dalam rupa, rapuh dalam makna.


Nilai budaya direduksi menjadi alat pencitraan. Partisipasi publik yang semestinya menjadi inti pembangunan justru dipinggirkan. Musrenbang hanya sekadar seremoni administratif. Rakyat hadir, namun tidak benar-benar didengar. Nenemo dikutip, tetapi tidak dihayati.


Nilai Nemen, yang seharusnya mengajarkan ketekunan kolektif, malah dibebankan secara sepihak kepada rakyat. Mereka diminta bekerja keras, taat, dan sabar, sementara akses untuk ikut menentukan arah pembangunan nyaris nihil.


Nedemo, yang mestinya mendorong keberanian menyuarakan kebenaran, berubah menjadi bumerang. Kritik dianggap ancaman, bukan koreksi. Ketika rakyat bicara lantang, mereka dibungkam atas nama "ketidak sejalanan dengan semangat pembangunan".


Sedangkan Nerimo, nilai luhur tentang keikhlasan, telah disalah artikan menjadi sikap tunduk. Rakyat diajari menerima ketimpangan sebagai takdir, bukan sebagai kondisi yang harus diubah. Spiritualitas diubah menjadi instrumen penjinakan.


Dalam konteks ini, Nenemo tidak lagi menjadi etika pembebas, melainkan topeng legitimasi kekuasaan. Ia menjelma menjadi wajah baru feodalisme: kekuasaan dibalut adat dan spiritualitas, namun relasi kuasa tetap timpang. Rakyat dipinggirkan, bahkan ditidurkan dalam euforia budaya.


Padahal jika dimaknai secara jernih dan tulus, Nenemo justru dapat menjadi pondasi untuk membangun tata kelola yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan.


Nemen bukan beban rakyat semata, melainkan semangat kolektif merancang kebijakan bersama.


Nedemo bukan untuk menakuti rakyat, melainkan keberanian bersama menyuarakan dan menerima kritik.


Nerimo bukan perintah untuk pasrah, melainkan keikhlasan pemimpin membuka ruang dialog.


Pembangunan berbasis budaya hanya akan bermakna jika bersandar pada kejujuran, transparansi, dan partisipasi. Jika tidak, yang tersisa hanyalah simbol kosong yang dijual untuk panggung politik.


Tubaba sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi model pembangunan yang memadukan tradisi dan transformasi. Tapi itu hanya akan terjadi jika penguasa bersedia menanggalkan ego simbolik dan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penonton.


Sebab, pembangunan tanpa partisipasi adalah propaganda. Budaya tanpa kritik adalah alat penindasan. Mari kita pulihkan Nenemo dari reduksi makna. Mari menjadikannya bukan mitos kekuasaan, melainkan jalan menuju keadilan sosial dan demokrasi lokal yang sebenar-benarnya. (Red)

Kamis, 29 Mei 2025

Mei 29, 2025

BLT- DD Tahap Dua 2025 Direalisasikan Kepada 20 KPM


Ogan Ilir | Prokontra.news | - Pemerintah Desa Sungai Pinang Dua Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Provinsi Sumatra Selatan ( Sumsel), merealisasikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD) Tahap Dua Bulan April, Mei, dan Juni tahun anggaran 2025 kepada 20 keluarga penerima manfaat (KPM).


Kegiatan tersebut Berlangsung di Kantor desa setempat, turut hadir pada kesempatan tersebut, Camat Sungai Pinang, Pendamping Desa, Kasi PMD Kecamatan Sungai Pinang, Babinkantibmas, Babinsa, BPD, dan Perangkat Desa Sungai Pinang Dua dan para tamu undangan lainnya.


Ya kita hari ini menyalurkan bantuan langsung tunai Dana Desa (BLT-DD) tahap dua kepada 20 (KPM) keluarga penerima manfaat. adapun cara penyalurannya yang diserahkan langsung di kantor desa ini sebanyak 13 KPM, sedangkan untuk 7 KPM lainnya kita datangi langsung ke rumahnya," ungkap Kades Herman Sawiran, di kantornya pada Rabu (28/5/2025).



Karena yang kita datangi kerumahnya tidak bisa hadir ke kantor desa ini disebabkan oleh usia dan lain sebagainya, karena itu kita yang kesana, ada pun uang yang diterima oleh KPM hari ini sebesar 300.000 rupia untuk satu bulan nya jadi yang di salurkan selama tiga bulan sebesar 900.000 rupia


KPM yang menerima (BLT-DD) ini sudah sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah, kita ambil data dari, verifikasi dari BPD. Perangkat Desa dan RT,


Kita berharap dengan telah disalurkannya BLT-DD ini kepada KPM agar di dapat dipergunakan dengan sebaik mungkin untuk menambah kebutuhan sehari hari, jangan sampai disalahgunakan," tutup Herman.


Pengirim berita : (Aprianto)

Mei 29, 2025

PT. SGC, Mafia Hukum : Wajah Buram Hukum Peradilan di Indonesia


Penulis :

Ahmad Basri

Ketua : K3PP Tubaba


Tulang Bawang Barat | Prokontra.news | - Dua petinggi paling berpengaruh dan sekaligus owner PT. Sugar Group Companies ( SGC ) Purwanti Lee ( Nyoya Lee dan Gunawan Yusuf ) belakangan ini menjadi berita hangat di berbagai pemberitaan baik lokal maupun nasional. Kedua orang tersebut sangat familiar bagi masyarakat lampung. 


Kasusnya tidak main - main yakni diduga terlibat penyuapan terhadap para Hakim Agung untuk memenangkan perkara “ PK “ di MA ( Mahkamah Agung ) antara PT. SGC dan Marubeni Corporation. Pada akhirnya putusan MA mengabulkan PK ( Peninjauan Kembali ) yang dimenangkan oleh PT. SGC.


Kasus tersebut terbongkar setelah tim Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan rumah seorang terdakwa pelaku suap “ Zarof Ricar “ dan menemukan uang 920 milyar ( 200 milyar dari PT. SGC ). Uang 200 milyar tersebut diduga telah menyebar ke para Hakim Agung yang menangani perkara dan disinyalir mengalir ke para petinggi di Kejaksaan Agung.


Dalam posisi tersebut “ Zarof Ricar “ adalah “ aktor intelektual “ yang mengatur pembagian uang 200 milyar. Sebagai seorang mantan pejabat di MA tentunya Zarof Ricar tidaklah kesulitan untuk membangun jaringan koneksitas “ makelar kasus “ di tubuh MA.


Apa yang kita dapat dari kasus PT. SGC yang melibatkan Nyoya Lee - Gunawan Yusuf adalah mempertegas bahwa indikasi adanya mafia hukum itu ada bukan sebuah asumsi kosong tapi real itu ada dan nyata. Mereka mengakali sistem hukum peradilan. Mafia hukum benar - benar ada dan bekerja secara sistematis di dalam tubuh peradilan.


Paling menarik dalam kasus tersebut “ Zarof Ricar “ yang sudah mengakui semua perbuatannya namun dalam dakwaan Jaksa tidak dimasukan pasal suap. Aneh bin ajaib tapi itulah kenyataannya. Jelas ini semua dikondisikan untuk melindungi para aktor besar yang menikmati uang 200 milyar.


Akankah kasus akan lenyap menghilang seperti kasus - kasus besar lainnya. Sanggupkah Kejaksaan Agung menuntaskan kasus tersebut sampai tuntas menyeret mereka yang terlibat ke meja pengadilan. Termasuk membawa para petinggi PT. SGC kemeja pengadilan.


Disinyalir bahwa kasus tersebut hanya akan berhenti pada Zarof Ricar tidak akan melebar sampai pada yang lebih tinggi lagi. Itulah mengapa publik yang peduli dengan kondisi hukum di indonesia dan mengikuti perkembangan kasus PT. SGC tidak begitu optimis akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. 


Para penggiat anti korupsi berharap bahwa kasus PT. SGC ditangani oleh KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) bukan oleh Kejaksaan Agung. Ketidakpercayaan ini tentu wajar dengan ditemukan jejak atau diduga aliran dana 200 miliar masuk ke para petinggi ( oknum ) Kejaksaan Agung.


Keraguan dari para penggiat anti korupsi telah dibantah oleh Kejaksaan Agung bahwa kasus PT. SGC harus berproses sampai tuntas dengan melakukan pemeriksaan kepada nyoya Lee dan Gunawan Yusuf. Sampai penggeledahan rumah nyonya lee karena dianggap tidak kooperatif.


Walaupun keduanya sudah diproses diperiksa sampai penggeledahan namun statusnya masih belum ada apalagi sampai tersangka. Bagi publik khususnya masyarakat lampung menyangkut sepak terjang PT. SGC sudah begitu paham. Bukan hanya urusan “ gula “ semata dalam urusan dunia politik pun selalu hadir. Entah apa yang ingin dicarinya. (Red)



Sabtu, 24 Mei 2025

Mei 24, 2025

Resmi ..! Wabup Ardani Resmikan Posbankum di Ogan Ilir


Ogan Ilir | Prokontra.news | – Kegiatan sosialisasi pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) tingkat desa dan kelurahan yang dilaksanakan di Pendopo Rumah Dinas Bupati Kabupaten Ogan Ilir yang berada Tanjung Senai sangat meriah, kegiatan perdana ini dikuti dengan penuh antusias oleh seluruh Camat, Lurah dan Kepala Desa se-Kabupaten Kabupaten Ogan Ilir, pada Jum'at (23/05/2025).


Pembentukan Posbankum sebuah terobosan baru yang digagas oleh Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir sebagai bentuk peduli untuk akses keadilan dan layanan hukum bagi masyarakat, khususnya kalangan kecil, lemah, dan terpinggirkan. 


Acara dibuka secara Resmi oleh Wakil Bupati H. Ardani, S.H., M.H., yang didampingi Asisten I dan III Setda Ogan Ilir, Inspektorat, serta Bagian Hukum sebagai leading sektor kegiatan, berkolaborasi dengan Dinas Pemberdayaan Desa dan Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Selatan.


“ Posbankum ini bukan sekadar sebagai tempat konsultasi, tetapi simbol kehadiran negara dalam menjamin hak-hak hukum masyarakat serta wujud nyata Pemerintah daerah dalam berkomitmen penuh, guna  mendorong terwujudnya keadilan bagi seluruh warga,” tegas Wakil Bupati Ardani.


Sementara itu, Novi dari Kanwil Hukum dan HAM Sumsel menjelaskan, percepatan pembentukan POSBANKUM di desa dan kelurahan bertujuan memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dan bantuan hukum tanpa harus menempuh jalur pidana.


Untuk diketahui Posbankum akan menjadi perpanjangan tangan aparat penegak hukum dan para Kepala Desa serta paralegal yang bertugas akan dilatih dan disertifikasi agar mampu menangani konflik hukum di tingkat desa secara damai dan edukatif,” ujarnya.


Lebih lanjut, Novi menambahkan bahwa Posbankum desa dan kelurahan nantinya akan terhubung dengan organisasi bantuan hukum (OBH) yang telah terverifikasi dan terakreditasi oleh Kemenkumham. Namun saat ini, Kabupaten Ogan Ilir belum memiliki OBH terakreditasi, sehingga ke depan akan dilakukan pendampingan oleh LBH dari kabupaten terdekat.


Kepala Bagian Hukum Setda Ogan Ilir, Imtihana, A.H., M.Si., berharap pembentukan Posbankum dapat menjadi solusi atas persoalan hukum skala kecil yang sering terjadi di tingkat desa.


"Ke depan, kita ingin para paralegal dan kepala desa menjadi juru damai yang solutif, tidak semua konflik harus dibawa ke ranah hukum," pungkasnya.


Dengan hadirnya Posbankum, maka masyarakat Kabupaten Ogan Ilir kini memiliki harapan baru dalam mendapatkan keadilan hukum, yang mudah diakses, dekat, dan ramah terhadap rakyat kecil.


Pengirim berita : (Aprianto)

Jumat, 23 Mei 2025

Mei 23, 2025

Ide Kreatif..! Kades Meranjat 1 Ogan Ilir


Ogan Ilir | Prokontra.news | - Sungguh kreatif dan luar biasa, inilah yang dilakukan oleh Kepala Desa (Kades) Meranjat 1, Kecamatan Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir (OI), Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) Pahrulhadi yang akrab disapa Young atau Kriye Young.


Betapa tidak mobil suzuki lancer tahun jadul ini disulap oleh estetik oleh sang kades, dengan memberikan Cat Zik Zak dan terkesan berantakan namun memberi kesan estetik.


"Ya, mobil ini diberikan oleh Krie Sipul dan saat ini sudah lama dengan saya jadi saya rawat sebaik mungkin, untuk motif sendiri memang sengaja kita berikan motif seperti ini agar bisa menjadi lebih menarik dilihat," katanya ketika diwawancarai wartawan media ini  pada Jum'at (23/5/2025).


Dikatakannya, intinya kita sebagai kades cuma menyalurkan hobi saja, ya hobi kita dari kecil terutama di bidang otomotif, jadi inilah hasilnya, dan mobil ini dengan saya sudah hampir setengah tahun.


"Untuk motif ini sendiri bisa kita lihat simpel, kreatif, dan enak dipandang mata sehingga sekali lagi bisa memberikan kesan yang kalem dan estetik tentunya," tutupnya.


Pengirim berita : (Aprianto)